Sabtu, 04 April 2009

Bintang Kejora Kecil (Cakka)

aku punya bintang kecil
sinarnya terang tak kepalang
ia senang berdendang lagu riang
aku pun hilang memandang yang tersayang

bintang kecilku, bintang kejora
tetap benderang pun di ambang siang
tak ada bimbang walau kadang dibilang belang
dan akan meradang jika ia harus terbuang
sebab ia bukan sembarang bintang

bintang kecilku, bintang kejora bernama Cakka
terbawa tawa bukan pertanda jumawa
bukan pula terlena akan puja nan bertahta
tapi bangga nan terjiwa pada sahaja
maka jika pun ada kata nan terbata tanpa kuasa adalah biasa
karena ia bermata pesona

kejoraku, oh Cakka kecilku
hari ini engkau masih masih bintang kecilku
tapi aku ngerti, ada mimpi yang membumi di hati penuh peri
peri-peri yang sudi mengisi bintang kecilku jadi mentari
........................................................
,....................................................... bersambung

Rabu, 25 Februari 2009

BERBAGAI SISI YANG JARANG

TERUNGKAPKAN DALAM POLIGAMI

(Studi Kritis terhadap Reinterpretasi Ayat Legitimasi Poligami)


Dalam upaya mencari legitimasi praktik pernikahan lebih dari satu orang isteri (Baca: Poligini, dan selanjutnya akan disebut Poligami), maka nash terdekat dan barang tentu akan secara otodidak terucapkan adalah surat al-Nisa’ khususnya ayat (3) di atas. Karena memang ayat tersebutlah yang mula-mula memberi celah mubah dalam praktik tersebut. Sehingga praktik poligami dalam Islam pun menjadi hal yang diperbolehkan dan tidak dibenarkan untuk dinafikan.

Kendati demikian, tidak dibenarkan pula untuk menutup mata dan telinga bahwa terdapat beberapa hal yang masih menjadi polemik dalam kehidupan masyarakat, di segi sosiologis maupun psikologis, khususnya di kalangan wanita. Hal ini dikarenakan naluri manusiawi (gharizah basyariayah) yang cenderung untuk possesif terhadap apa yang dimilikinya, termasuk suami. Dan harus diakui, bahwa pada umumnya, tidak ada seorang isteri pun yang rela untuk berbagi suami dengan wanita lain. Oleh karenanya, sangat wajar jika terdapat berbagai gerakan berbasis feminis yang menyuarakan penolakan terhadap praktik poligami dengan berbagai alasannya. Lalu, apakah kemudian mereka pantas untuk dikategorikan sebagai “pengingkar syariat”? Wallahu a’lam.

Terlepas dari kenyataan itu, pembahasan ini akan mengupas berbagai hal yang seharusnya tersuarakan dengan lurus dan ternyata masih jarang terungkapkan. Maksudnya, terdapat banyak hal yang masih dipahami secara parsial dalam praktik poligami sehingga tidak jarang hal tersebut menimbulkan miss-interpretation dan mengundang under-estimate masyarakat serta bermuara pada aksi penolakan secara pasti terhadap praktik poligami.

Memahami ayat di atas, dapat diasumsikan bahwa, pertama, Allah SWT. membuka pintu dimungkinkannya menikahi lebih dari satu orang istri. Poligami merupakan perkara yang halal dan dibenarkan oleh syariat Islam. Maka selaiknya dipatuhi dan tidak perlu disanksikan keabsahannya. Akan tetapi, terdapat berbagai hal yang hendaknya diperhatikan. Bahwa kebolehan berpoligami merupakan hukum dasar yang bisa saja berubah sesuai fariabel/qarinah (Baca: indikator) yang terdapat di dalamnya. Sehingga hukum mubah tersebut bisa saja berubah menjadi sunnah, makruh, atau bahkan haram.1

Peka terhadap hal ini, sayyid Quthub menyatakan, bahwa dalam Islam, poligami dipandang sebagai salah satu cara untuk menjaga kebaikan masyarakat, menghindarkannya dari bahaya besar yang dapat ditimbulkan dari temparamen sebagian anggotanya dan oleh berbagai macam keinginan di kalangan kaum suami dan isteri.2 Di samping itu, dalam kesempatan lain, ia menegaskan bahwa pensyariatan ini merupakan langkah bijaksana dalam meminimalisir perselisihan angka stastistik, yang mana jumlah wanita siap kawin jauh lebih besar dari pada jumlah laki-laki.3

Kedua, ayat tersebut menggunakan kata “al-Nisa’” untuk menunjukkan arti “wanita”. Yang mana kata tersebut selalu digunakan dalam maksud “wanita dewasa” dan/atau “isteri”. Hal ini mengindikasikan bahwa wanita yang diperkenankan untuk dijadikan isteri kedua adalah wanita yang sudah dewasa. Bukan wanita yang masih di bawah umur. Di samping itu, yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah bahwa rangkaian ayat-ayat (munasabah al-ayah) tersebut berkisar dalam wilayah gren tema “perlakuan terhadap anak yatim”. Sehingga terkadang mengantarkan kepada pemahaman bahwa wanita yang dianjurkan untuk dinikahi adalah ibu si yatim (selanjutnya digeneralisasi menjadi, “Janda”. Dan tentunya bukan si yatim itu sendiri) dengan alasan memperlakukan si yatim dengan perlakuan adil.4

Pandangan tersebut tidak cukup kuat karena di samping kata “al-Nisa’” tersebut bersifat umum dan tidak ada dlamir yang kembali kepada si yatim –terlebih ibunya–, pihak yang hendak berpoligami pun tentunya tidak mempunyai ikatan tertentu dengan keluarga si yatim sehingga tidak ada alasan untuk tidak berlaku adil terhadap (harta) si yatim tersebut. Dengan demikian, pendapat yang cukup kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa wanita yang dimaksud adalah “wanita (dewasa) lain” dan tidak tertentu pada ibu si yatim, baik janda maupun masih perawan.

Mengenai si yatim yang dimaksud dalam ayat di atas, dalam suatu riwayat diceritakan oleh Imam, Abu Dawud, Nasa’i, dan Tirmidzi, dari Urwah bin Zubair, bahwa ia bertanya kepada Aisyah, isteri Nabi Saw. tentang ayat tersebut (al-Nisa’: 3), lalu beliau menjawabnya:

Wahai anak saudara perempuanku, yatim yang dimaksud di sini adalah anak perempuan yatim yang berada di bawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan hartanya, dan harta serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya. Lalu ia ingin menjadikannya sebagai isterinya, tetapi tidak mau memberi mas kawin dengan adil, yaitu memberi mas kawin yang sama dengan yang diberikan kepada wanita lain. Karena itu, pengasuh anak yatim yang seperti ini dilarang menikahi mereka. Kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mas kawin kepada mereka yang lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenangi.”5


Adapun ketentuan yang mungkin akan menuai protes besar karena dinggap tidak datang dari Rasulullah adalah ketetapan “Dewasa” bagi wanita yang hendak dinikahi (tidak hanya berlaku dalam poligami, tetapi juga dalam pernikahan monogami). Hal ini dimungkinkan karena yang tertanam dalam benak kita adalah pencatatan sejarah yang menyatakan bahwa Rasulullah sendiri telah menikahi Aisyah pada saat Aisyah berusia tujuh tahun dan berkumpul pada satu rumah setelah Aisyah masuk usia baligh, yaitu pada usia sembilan tahun. Dewasa ini, disinyalir bahwa hadits yang menceritakan hal itu kurang abshah setelah dilihat dari penyampaiannya. Yang mana hadits ini hanya disampaikan oleh Ibn Hisyam setelah ia menetap di Baghdad, padahal selama ia menetap di Madinah tidak pernah menyampaikannya. Di samping itu, usianya yang telah mencapai tujuh puluh tahun dikhawatirkan telah mengalami penurunan ke-dlabit­-annya.

Dalam upaya memperjelas usia Aisyah tatkala menikah dengan Rasulullah dan menghindari distorsi sejarah yang kerap dijadikan senjata ampuh para musuh Islam, terdapat berbagai fakta yang berhasil diungkapkan oleh para Mujtahid. Berbagai indikator distorsi sejarah ditemukan dalam berbagai riwayat. Di antaranya adalah bahwa al-Thabari termasuk orang yang mengamini pendapat Ibnu Hisyam tersebut, namun dalam riwayatnya yang lain, ia menyatakan bahwa Abu Bakar memiliki empat keturunan dari dua isterinya yang kesemuanya dilahirkan pada zaman jahiliyah (Baca: Pra-diutusnya Rasulullah), termasuk Aisyah. Sedangkan Rasulullah menikahi Aisyah dalam usia lima puluh dua (52) tahun. Artinya, beliau menikahi Aisyah dua belas tahun setelah beliau diutus. Dengan demikian, jika usia Aisyah saat menikah dengan Rasulullah adalah tujuh tahun, maka Aisyah dilahirkan lima tahun sesudah masa jahiliyah. Dan jika benar Aisyah dilahirkan pada masa jahiliyah, maka setidaknya telah berumur dua belas (12) tahun saat menikah dengan Rasulullah. Dalam hal ini, al-Thabari tidak konsisten dalam periwayatannya sendiri dan tidak reliable mengenai usia Aisyah.6

Di samping itu, terdapat pula pandangan kritis kontradiktif lain yang menunjukkan ketidakvalidan riwayat Ibn. Hisyam yang menyatakan bahwa usia Aisyah saat menikah adalah tujuh tahun. Ada pendapat yang didasarkan pada selisih usia Aisyah dan Fathimah binti Rasulillah, selisih usia Aisyah dengan kakak pertamanya, yaitu Asma binti Abu Bakar, hingga keterlibatan Aisyah dalam perang Badar yang kesemuanya mengindikasikan bahwa ketika melangsungkan pernikahan dengan rasulullah, usia Aisyah berkisar antara enam belas hingga sembilan belas tahun. Dengan demikian, tidak ada alas an untuk menikahi seorang anak di bawah umur, baik pernikahan biasa maupun pernikahan dalam poligami.7

Ketiga, terdapat pembatasan jumlah isteri sampai dengan empat orang saja. Artinya, tidak diperbolehkan menikahi wanita lebih dari empat orang. Hal ini diperkuat dengan beberapa hadits yang di antaranya berbunyi:


عن نوفل بن معاوية الديلمي قال أسلمت وتحتي خمس نسوة فسألت النبي ص. م. فقال فارق واحدة وامسك أربعا فعمدت إلى أقدامهن عندي عاقر منذ ستة سنة ففارقتها.

Dari Naufal bin Muawiyah al Daily, ia berkata, “Saya masuk Islam sedangkan saya beristerikan lima orang. Maka saya bertanya kepada Rasulullah Saw. dan beliau bersabda, ‘Cerailah salah seorang dari mereka dan tahanlah empat orang!’, maka saya menuju yang paling awal, dia telah mandul sejak enam tahun, maka saya menceraikannya.”


Sebelum surat al-Nisa’ ayat (3) tersebut diturunkan, tidak ada pembatasan terhadap jumlah wanita yang boleh dinikahi. Saat itu, ada beberapa orang yang memiliki isteri sampai sembilan dan bahkan ada pula yang memiliki isteri lebih dari sepuluh orang. Kedatangan Islam kemudian memberikan landasan dasar yang kuat untuk mengatur dan mengatasi kerusakan moral. Tujuannya adalah untuk menjaga kemuliaan wanita dan memelihara hak-haknya yang semula terabaikan.

Keempat, ayat tersebut tidak mengatur atau menghendaki adanya syarat dalam poligami. Tidak sebagaimana sering disampaikan oleh banyak orang yang membenarkan poligami akan tetapi menyertakan syarat yang sangat berat, yaitu dapat “berlaku adil”. Keadilan bukanlah syarat bagi kebolehan untuk berpraktik poligami. Hal ini bisa dipahami dari konteks bahasa yang terdapat dalam ayat tersebut. Kalimat “fa in khiftum an laa ta’diluu, fa waahidatan” (kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja!) adalah kalimat yang berdiri sendiri dan bukan merupakan syarat bagi terlaksananya kalimat sebelumnya. Jika “keadilan” menjadi syarat, maka kalimatnya akan berbunyi: “…maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat, jika kamu dapat berlaku adil”. Akan tetapi, kalimatnya tidak berbunyi demikian, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat untuk melakukan poligami.8

Di samping itu, perlakuan adil terhadap isteri-isterinya akan dirasakan setelah adanya pernikahan tersebut. Sehingga sangat tidak masuk akal jika sahnya suatu pekerjaan digantungkan kepada syarat yang baru bisa dilaksanakan setelah pekerjaan itu berlangsung. Kalau dianalogikan kepada pelaksanaan shalat yang disyaratkan dengan kesucian dari hadats (besar ataupun kecil), maka seseorang yang hendak shalat maka harus berwudlu’ terlebih dahulu. Dan jika ternyata dipertengahan shalat, wudlu’nya putus, maka shalatnya pun akan terputus dengan sendirinya. Dengan demikian, jika syarat suatu perkara terputus maka perkara itu pun menjadi terputus.

Begitu pula dengan poligami, jika “berlaku adil” dianggap menjadi syarat, maka jika dipertengahan jalinan perkawinannya terdapat cacatnya perlakuan adil, maka nikahnya pun menjadi rusak. Dengan logika seperti itu, maka cukup beralasan jika “berlaku adil” dianggap bukanlah syarat dalam poligami, akan tetapi lebih sebagai hukum kondisional. Artinya, merupakan hukum yang muncul tatakala terdapat keputusan untuk berpoligami. Ketika hal ini dipahami sebagai hukum, menjadi kewajiban siapa pun yang berpoligami untuk taat terhadapnya karena telah melekat dan menjadi keniscayaan di dalamnya.

Kemudian, berlaku adil dalam ayat tersebut mengandung pengertian bersikap seimbang terhadap isteri-isterinya sesuai dengan kadar kemampuannya dalam hal-hal yang bersifat lahiriyah, seperti dalam hal sandang, pangan, papan, memberi giliran, dan sebagainya. Bersikap seimbang tidak harus sama dalam kadarnya, tetapi harus proporsional sesuai dengan kebutuhannya. Dan hal ini menjadi sebuah keniscayaan yang memiliki konsekuensi hukum sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah Hadits:

Dari Abu Hurairah Ra., sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda, “Barang siapa yang mempunyai dua isteri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang hari kiamat nanti dengan bahunya miring.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Hiban)

Sementara keadilan yang berkenaan dengan aspek bathiniyah, seperti cinta, kasih sayang, dan selera (hasrat seksual) merupakan perkara yang mustahil dapat direalisasikan oleh manusia. Dalam hal ini, setiap manusia pasti memiliki kecenderungan hati dan sikap condong kepada pihak-pihak tertentu. Hal inilah yang sebetulnya tersirat dalam surat al-Nisa’ ayat (129) yang artinya:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Dari ayat ini dapat dipahami bahwa sangat tidak bijaklah jika Allah mensyariatkan poligami tetapi kemudian dibenturkan dengan paerkara di luar batas kemampuan manusia untuk melakukannya. Di samping ayat di atas, terdapat pula bebarapa riwayat yang menjustifikasi isi kandung ayat tersebut, di antaranya adalah:

Rasulullah Saw. selalu membagi giliran sesama isterinya dengan adil. Dan beliau pernah berdoa: “Ya Allah, ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah Engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau kuasai, sedang tidak menguasainya.” Abu Daud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau kuasai tetapi aku tidak menguasai, yaitu hati.

Dengan demikian, sangat jelas sekali bahwa keadilan yang harus selalu terpenuhi dalam kehidupan berumah tangga poligami adalah proporsional dalam pemenuhan kebutuhan lahiriyah saja, tidak untuk urusan kecenderungan hati.

Demikian pembahasan ini dicukupkan, semoga dapat diambil manfaat dan dapat dikoreksi kembali sebagai evaluasi pemahaman terhadap isi kandung berbagai ayat ahkam, khususnya mengenai poligami itu sendiri. Sehingga tidak terdapat pemahaman secara parsial yang selanjutnya akan mengantarkan kepada ketersesatan. Selebihnya, penulis selaku mahasiswa yang menyadari akan keterbatasan serta emosional yang berlebihan, maka mohon maaf yang sebesar-besarnya manakala dalam proses take and give kita sering mengecewakan. Semoga segala yang bapak sampaikan dinilai ibadah oleh Allah SWT.. Amin.





DAFTAR RUJUKAN


Abidin, Slamet dan Aminuddin (1999) Fiqih Munakahat: untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK. jilid 1. Bandung: Pustaka Setia

Irawan, Chandra Saptia (2007) Perkawinan dalam Islam: Monogami atau Poligami?. Jogjakarta: an-Naba’

Quthub, Sayyid (1983) Islam dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Al-Thabari (1979) Tarikhu al-Umam wa al-Muluk. Vol.4. Beirut: Dar al-Fikr.

Yangga, Chuzaimah T. (1996) Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.


1 Chandra Saptia Irawan, Perkawinan dalam Islam: Monogami atau Poligami? (Jogjakarta: an-Naba’, 2007), 57

2 Sayyid Quthub, Islam dan Perdamaian Dunia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1983), 66

3 Chuzaimah T. Yangga, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 240.

4 Reinterpretasi terhadap penyampaian materi pada perkuliahan Tafsir Ayat Ahkam oleh Khairul Anam pada tanggal 22 Desember 2008 di ruang 205 (kelas A semester V)

5 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat: untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK. jilid 1 (Bandung, Pustaka Setia, 1999), 132.

6 lihat Tarikhu al-Umam wa al-Muluk, At-Thabari (died 922), Vol.4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 50

7 Dikutip dari penyampaian materi perkuliahan Tafsir Ayat Ahkam yang disampaikan oleh Dosen Pengampu, Khairul Anam, pada tanggal 12 Januari 2009 di ruang 205 (kelas A, semester V),

8 Chandra Saptia Irawan, Op.Cit., 59

Kamis, 15 Januari 2009

bukan apa-apa

bilang ya, pada hgsuydbdsvdsdfsd pdyutb padgy owehjpqqn jhdbd ujbdd hd

who am i

tentang aku,,
aku bernama Ruslan Nawawi
Dilahirkan di sampang, 15 Desember 1986 oleh seorang Umi sangat penyayang dan pekerja keras serta Abah yang sangat bijaksana. aku sangat kagum pada mereka.
tumbuh di keluarga sederhana. bersama sepasang ortu, dua kakak, satu adik, dan tiga keponakan membuat aku terbiasa dengan kesederhanaan(kecuali untuk pengeluaran keuangan yang gak bisa-bisa untuk disederhanakan, gak tahu raib kemana!).

Pendidikan
:
SDN Ketapang laok IV Ketapang sampang,
MTs. Tarbiyatul Athfal Ketapang Sampang,
MA Darul Ulum I Pondok Pesantren Banyuanyar Palengaan Pamekasan,
UIN Malang.

Organisasi:
Pertama kali paham pentingnya organisasi sejak kelas I MA,
1. menjabat sebagai Ketua Redaksi Majalah Dinding "Universal Magazine" OSIS MADU I, yang
mengantarkanku mengenal bidadari bermata elang, sungguh manis... aku belajar untuk jadi
pujangga ulung... terima kasih, Maria Ulfa, inspirasiku, semoga arwahmu ditempatkan di
tempat yang paling mulya di sisiNya.

2. Andika Pramuka GPI Darul Ulum Gudep 963 Pamekasan (MADU I), banyak hal yang aku
pelajari secara intensif, baik disengaja mau pun tidak, di Gerakan ini!! setidaknya, aku
mendapatkan ilmu "survival" yang juga masih dibutuhkan di kota yang kejam ini; Malank,
yang sering membuatku bernasib malang.
3. Anggota Sanggar Sastra dan Teater "Kertas" (selanjutnya menjadi Koordinator Harian)
MADU I. organisasi ini adalah paradoks di pondok kita. perjuangan besar untuk menunjukkan
eksistensi dan kredibilitas sangat menonjol di sini. yach, ketika segala tingkah adalah dianggap
sebagai upaya pelanggaran, segala ucapan adalah wujud pembangkangan, dan segala kreasi
adalah pencoreng nama baik,,,, bilang tidak, bilang bukan, bilang salah paham, semua
percuma! sebab, hanya ada dua warna, hitam atau putih, sekali hitam, tak kan pernah
menjadi putih, karena tidak ada abu-abu... yang ada di hadapan adalah pilihan tobat dan
patuh atau patuh dan tobat!! tapi sebetulnya, aku tahu maksud mereka,, tahu sekali...
apapun, aku cinta Teaterku "Kertas", aku pun cinta almamaterku "Duba"! tak kan pernah
luntur!!! so, saat ini, siapa pun orang nomor satu di kepengurusan Duba,, aku bersamamu,
selagi kamu bersama penerusku... adik2ku,, apa pun yang kalian hadapi, GO AHEAD!!
4. Pimpinan Redaksi "Majalah Ilham Al-Ikhwan" (MIA) MADU I.. yang ini lucu, pasalnya, aku
yang sama sekali belum berpengalaman dalam dunia jurnalis (majalah), langsung ditunjuk
untuk menjadi Pimrednya...kebayang kan!!? bingung bin setresss... tapi mereka punya alasan
untuk tetap mengusungku sebagai pimpinan. alasan mereka, di kepengurusan OSIS
sebelumnya, program kerja yang paling bersinar adalah MADING yang aku pimpin.
secara,,mading dan majalah tidak terlalu jauh berbeda.. so, aku gak bisa ngelak lagi,, dan
alhamdulillah,, aku bersama tim yang cukup solid berhasil menjalankan amanah
kepengurusan selama satu periode. tentunya, sangat banyak sekali pelajaran yang aku tuai.
mulai dari berbagai training hingga pada aplikasi penuh tantangannn. nah,,, pada masa ini
pula, aku pas gila-gilanya berorganisasi, baik intra maupun ekstra, sampe2 sempat terniatkan
untuk tidak naik kelas agar masih tetap bisa secara inten terlibat dalam organisasi. ditambah
lagi, jiwa seni, terlebih sifat kepujanggaanku sedang berada pada klimaks.. sekolah lumayan
kacau, bahkan nyaris gakbisa ikut semesteran. tapi, syukurlah,, masih dapat terselamatkan!
aku naik kelas. rangking kelas, Lagi!! hehe..
5. Sekretaris sementara FLP Ranting Banyuanyar cabang Pamekasan. beberapa saat saja
menjabatnya, karena berbagai alasan, difakumkan
6. Di kelas III, terlarang untuk menjadi pengurus saya didaulat menjadi Penasehat "Sastrawan
Muda Banyuanyar" (Samba) SKKS (sistem kredit kegiatan siswa) oleh adik2 kelas dan
menjadi anggota Fraksi III Majelis Permusyawaratan Siswa (MPS), oya, pas kelas III juga,
aku menjabat sebagai Pimred majalah Pesantren "al-Ikhwan", tapi saking kompleksnya
konflik yang digawangi oleh dedengkotnya pengurus pesantren dengan pola Orba, maka
majalah yang sejatinya terbitan perdana itu, terulur-ulur hingga sampe aku lulus tidak
berhasil diterbitkan.(emang dasar, aku gak bakat jadi pemimpin yang baek!)
7. mengabdi di lembaga Nurul Huda, Payudan Daleman, Guluk-guluk, Sumenep. sebagai:
a. Pengajar MI, MD, MTs. Nurul Huda
banyak warna kehidupan yang mengajariku,,memperingatiku,,dan bahkan
memperbudakku di lembaga ini. hitam,,putih,,merah,,biru,,sedap,,pahit,,besar,,kecil,,
sayang,,benci,,hewan,,manusia,,busuk,,dan suci,, semua menjadi satu.... nyaris buta..kalau
tak biasa.... tapi aku telah terlatih makan empedu campur gula yang ramuan koki
profesional..
b. Pembina OSIS dan Ekskul (Pramuka dan Teater)
I Luv my Students...
Kalian Asyik-asyik,,, kita kemping bareng,, berlumur lumpur bareng,, nyelam di laut
bareng,, daki gunung bareng,, jelajah bareng,, nangis bareng,, ketawa bareng...
kesan itu sangat dalem,, terlalu indah untuk dilupakan (ciee,, kayak slenk aja!)
n ....sstt... di pengabdian, aku mendapatkan soulmate yang nyaris sempurna! tapi sayang,,,
hiks!!!
POKOKE, tempat Pengabdianku adalah pasarku....
nah, habiz ngabdi,, kuliah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah (Hukum Perdata Islam).. agak idealis.. dan aktif di:
8. HMI Cabang Malang Komisariat Syariah-Ekonomi (Syaeko) UIN Malang..
di sini neh, tempatnya betul-betul belajar manajement konflik! soalnya, selalu kepentok ma
masalah yang berkepanjangan,, diperparah lagi oleh masalah yang terwariskan... tapi justru
itu yang menjadi lahan pendewasaan dan pematangan diri menuju Insan Cita,,,
dan darahku memang darah hijau dan hitam (warna kebesaran HMI)... sekali pun kadang
menjadi sosok yang paradoksal,,, tapi hakikatnya adalah jiwa yang satu dalam konstruksi
ideologi Himpunan... semoga betul-betul menjadi kader yang militan dan mencapai tujuan
hidup yang sesungguhnya, yang pada dasarnya telah menjadi tujuan bersama di Himpunan..
9. Ketua Biro Litbang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Cabang Malang..
sekali pun terdaftar sebagai Mahasiswa di Fakultas Hukum Islam,, saya 9dan beberapa
teman yang lainnya),, dapat bergabung dan berproses di organisasi ini. bahkan saya didaulat
sebagai Ketua Biro...
organisasi ini masih belajar bernafas lagi di Malang setelah lama tertidur pulas dan
ditinggalkan ruhnya sekitar sepuluh tahun... namanya juga belajar bernafas,,tentunya banyak
kendala untuk cepat berlari.... tapi besar harapan kami untuk membesarkan namanya,, lebih
besar dari nama SBY (haha).
10. Ketua Divisi Litbang Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) wilayah
Malang..... organisasi ini, spesial sekali..... loyalitas terhadap organisasi ini menjadi wujud
terima kasih terhadap almamater yang telah banyak menyumbang sum-sum dalam tulangku
thanks a lot to Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar,,, Palengaan Madura....
baaraka Allah.....

Asmara,
habis ditinggal selingkuh,,
lagi cari yang betul-betul bisa menerima aku apa adanya...
sifatku, fisik(memperihatinkan)ku, dompet(kering)ku,

Keuangan,
Sangat berterimakasih sekali kepada Abah yang telah terpontang-panting menggajiku setiap bulan. padahal aku kuliahnya,, hiks hiks.... jangan bilang2, semoga gak memalukan saja, saat nanti harus kembali ke kampoang! padahal, kayaknya, aku bakal difigurkan(wagagag..)!!
tapi aku yakin, esok akan selalu ada rejeki numpluk,, sekali pun hari ini, aku harus gali lobang untuk menutup lobang yang lain... gajian dari ortu bukannya gak cukup se! tapi emang dasar,,, akunya gak bisa biarin duit berdiam lama... haha... makanya, aku kerap meminta kepada Tuhan agar dapet anak ekonomi (hihi), sekali pun gak kul di jurusan manajemen, setidaknya mentalnya yang mental anak menejemen..

Obsesi,
sebetulnya, pengin banget jadi orang kaya, kaya harta, hati, jiwa, otak, asmara,,, but but but....
did not come true, may be... tomorrow, after n after...

Hoby,
cukuran jenggot-kumis (haha), bioskopan (kadang bikin sendiri/kadang to real teatre!), ngenet (tapi suka nyasar ke yang terlarang-terlarang gitu!! ampun, DJ).

More,
Sekarang ini sedang kagum berat sama anak kecil bernama Cakka Kawekas Nuraga,, anak yang muncul di Idola Cilik 2 ini betul-betul Amazing.... bahkan saya bercita-cita,, kalau nanti punya anak,, pengin anaknya kayak Cakka... He's the Next Rising Star... adakah yang bersedia memberi keturunan kayak Cakka padaku????!!!! semoga bukan sekedar mimpi...